Saturday, July 11, 2009

Pengalamanku belajar 5

Kisah ini adalah lanjutan dari (bagian 4). Dulu ketika masih kelas 1 SD saya termasuk anak yang lambat belajar membacanya. Teman-teman saya sudah lancar membaca, tetapi saya belum. Bahkan di kelas 2 SD juga belum lancar membaca. Kebetulan ibu saya adalah guru SD, dan ayah saya guru MI (Madrasah Ibtidaiyah, sekolah madrasah yang setara SD). Karena tinggal di desa yang kebanyakan penduduknya petani maka pekerjaan guru sangat terpandang.

Tapi ironisnya, anak guru susah belajar membaca? Nilai rata-rata raport saya juga Cuma 6 koma sekian, bisa dibilang hampir tidak naik kelas.


Sampai sekarang saya juga tidak tahu IQ saya, ketika dulu psikotes, saya tidak pernah tahu hasilnya. Mungkin sebenarnya IQ saya tidak tinggi, buktinya kemampuan membaca saya lambat. He he , tapi ini Cuma dugaan.


Tapi saya tidak perduli, buktinya saya bisa mengalahkan teman-teman saya ketika lulus SD. Di SMP juga begitu, dari 250 anak seangkatan, saya bisa meraih peringkat 2. Nah, ketika saya memasuki SMA, satu angkatan ada 320 orang, dan kemampuannya jelas, rata-rata kemampuan mereka jauh diatas rata-rata kemampuan teman-teman SMP saya.


Ketika pembagian kelas, tampak sekali kelas 1-1 siswanya terlihat paling pinter.
Ini terlihat , karena Wilis dan Anita ada di kelas itu. Saya sendiri berada di kelas 1-5.


Saya mulai mengatur strategi, ketika belajar matematika saya selalu mencoba mempelajarinya sebelum guru saya mengajar, minimal saya membacanya. Terkadang saya tidak memahami ketika membaca, tetapi walaupun begitu hasil membaca saya
sangat berpengaruh ketika sudah diajar guru.


Dari sinilah saya mulai kecanduan untuk belajar mandiri. (Sebenarnya ga kecanduan sih, hanya karena merasakan manfaatnya jadi saya selalu pengin mencoba).


Ketika mulai mempelajari bab 2, walaupun belum diajar oleh guru, saya menjadi lebih paham. Begitu juga dengan bab 3, saya jauh lebih paham. Akhirnya saya mulai bisa mempelajari matematika tanpa diajar oleh guru saya, bahkan saya bisa mengerjakan semua soalnya.


Lain lagi halnya dengan fisika, waktu itu saya mendapatkan warisan buku dari kakak saya, penerbitnya PT Intan Pariwara, nama pengarangnya adalah Drs Yohanes Surya (waktu itu masih Drs, sekarang sudah Prof. Dr). Dalam buku itu terlihat jelas, fisika SMA jauh lebih sulit dibandingkan fisika SMP. Terlihat sekali fisika penuh dengan hitungan, bahkan hitungannya bisa lebih parah (rumit) dibandingkan dengan matematika.


Kalau di SMP ada rumus V = IxR maka rumus paling hanya dibalik menjadi I = V/R atau R = V/I, begitu saja, sementara di SMA tidak. Rumus posisi GLBB bisa S = So+ Vot + ½ at2. Yah betapa panjangnya, setelah itu jika hafal belum tentu bisa menggunakannya (mengerjakan soal). Pemahaman lebih dipentingkan dalam hal ini.


Aku ingat betul, kedua kakak saya selalu merasakan fisika adalah pelajaran yang paling sulit. Tetapi ketika saya masuk SMA kakak saya selalu mengatakan, kalau kamu masuk ke teknik, ada dua pelajaran yang harus kamu kuasai, yaitu matematika dan fisika.


Bahkan jika kamu masuk jurusan teknik kimia sekalipun, materi yang paling penting adalah matematika dan fisika.


Saya sebenarnya agak keheranan, ketika saya buka buku fisika, terlihat materinya seperti kurang berguna, mulai balok yang diseret, balok diangkat pakai katrol, balok yang melorot di bidang miring dan lain-lain. Wah anehlah pokonya fisika, sebenarnya saya tidak tertarik melihat gambar-gambarnya. Karena saya lihat gambar-gambarnya tidak ada yang keren, seperti gambar mesin atau yang lainnya gitulah.


Lain halnya dengan kimia, terlihat lebih modern, ada reaksi kimia, benda-benda terlihat lebih keren karena ada rumus kimianya, seperti air menjadi H2O, Oksigen O2, asam sulfat H2SO4 dan sebagainya.


Terus terang kimia terlihat lebih modern, karena melihat benda dari bagian-bagian kecilnya, sesuatu yang tidak kasat mata.


Sementara fisika, seperti permainan anak-anak saja. Tapi, …… ketika melihat hitungannya fisika jauh kelihatan lebih dahsyat, sehingga saat itulah saya berfikir “Ini berita bagus, teman-teman pasti banyak yang tidak bisa. Ini kesempatan yang bagus bagi saya, kalau saya bisa pasti teman-teman akan melihat saya orang yang unggul, ha ha ha ha”.


Buku karangan Yohanes Surya memang berbeda dengan buku yang lain, teorinya ringkas, banyak sekali soal-soal yang dibahas, mungkin sampai 30 soal per bab, dan pembahasannya begitu rinci. Kemudian soal-soal latihannya cukup banyak, sampai sekitar 50 soal. Buku lain soal-soal latihanyya hanya sekitar 10, atau kalau banyak, tidak ada contoh yang dibahas dan mirip dengan soal latihan juga tidak ada.


Di buku Yohanes Surya, soal-soal latihan kebanyakan mirip dengan soal-pembahasan, hanya beda angka. Nah dari situlah saya hanya berfikir, saya harus mengerjakan semua soal fisika yang ada di buku Yohanes Surya.


BERSAMBUNG ke (bagian 6)

No comments:

Post a Comment