Seperti yang kuceritakan sebelumnya (bagian 1) ketika kelas 4 SD aku sering sakit-sakitan, jadi aku sering tidak masuk. Sebelumnya aku diajari perkalian pecahan. Perkalian pecahan sangat mudah, asalkan kita bisa perkalian biasa. Cara mengalikan pecahan cukup pembilang dikali pembilang dan penyebut dikali penyebut. Ketika aku tidak masuk (karena sakit) guruku mengajari penjumlahan pecahan. Ketika masuk teman-temanku sudah pada ngerti penjumlahan pecahan. Aku coba menghitung, pembilang ditambah pembilang, dan penyebut ditambah penyebut. Ya tentu saja jawabanku salah.
Aku ketinggalan, saat itulah aku merasa paling bodoh. Aku tidak tahu kalau menjumlahkan pecahan harus disamakan dulu penyebutnya.
Biasanya kalau di matematika kita terhambat di satu masalah, dan kita tidak berusaha mempelajarinya sampai bisa, untuk seterusnya kita akan selalu kesulitan dan makin tidak bisa, akibatnya kita tidak suka matematika, dan akhirnya memberikan identitas saya tidak berbakat matematika.
Saat itulah kakak saya yang pertama, Inkhud Muawanah, berbaik hati untuk selalu mengajari saya setiap sore, hingga akhirnya aku benar benar mengerti matematika. Aku disuruhnya mengerjakan soal-soal selain PR yang diberikan oleh guru saya.
Dengan jam terbang yang lebih tinggi aku mulai bisa bersaing dengan teman-temanku yang ranking 1 dan 2. Hingga akhirnya di akhir kelas 4 SD aku menduduki rangking 1. Di kelas 5 SD kemampuanku di matematika jadi yang terbaik di sekolah, hingga awal kelas 6 SD diikutkan lomba bidang studi matematika (mungkin sekarang olimpiade matematika kali ya)
Jauh-jauh sebelum lomba aku diberi bank soal matematika oleh ibu saya (kebetulan ibu saya juga guru SD, tapi tidak mengajar di SD saya). Setiap hari aku kerjakan soal-soal selama 2 jam. Kemampuanku menghitung dan memahami soal meningkat pesat. Saat diikutkan lomba aku memperoleh juara 1 se kecamatan kalidawir.
Setelah itu aku dibawa untuk ikut lomba tingkat kabupaten. Bagi saya Tulungagung adalah benar-benar sebuah kota, sementara saya dari desa. Bagi pembaca mungkin tahu sendiri, Tulungagung bukanlah kota yang besar, melainkan hanya sebuah kabupaten.
Sedangkan aku bukan tinggal di kotanya, melainkan di desa, sehingga terbayang betapa kampungannya saya ketika itu, yang tidak terbiasa melihat keramaian.
Melihat anak-anak kota yang cenderung banyak bicara, aku sedikut minder. Aku tidak tahu banyak, apa yang mesti kulakukan. Lomba ya lomba saja, yang penting ikutan saja. Selesai test tulis diadakan cerdas cermat. Untunglah saat cerdas cermat lawanku adalah sama-sama dari desa, tapi aku lupa nama kecamatnnya, jadilah aku yang terbaik di situ. he he
Besoknya diadakan cerdas cermat babak final, terdiri dari 5 orang dari kecamatan yang berbeda, salah satunya kecamatan kota (maksudnya kota Tulungagung). Lawan-lawanku kali ini terlihat lebih cerdas dan jago-jago. Juara 1 saat itu adalah Suryad (dari kecamatan Kedungwaru- lumayan kedungwaru kelihatan lebih kota dibanding Kalidawir), sedangkan untuk urutan kedua ada 2 orang yang sama, yaitu Anita Nawangsari (dari kecamatan Tulungagung) dan aku sendiri.
Akhirnya dikasih tambahan satu soal buat kami berdua. Ketika dikasih soal tambahan ternyata Anita berhasil merebut soalnya, jadilah aku juara 3.
Tapi lumayan, dari desa dapat juara 3. Saat itulah muncul impian saya, biarlah lomba kali ini aku hanya juara 3. Tapi suatu saat jika ada lomba lagi aku harus juara 1, jika perlu sampai tingkat nasional atau internasional, begitulah
Tetapi keadaan tidak semulus itu, ketika di SMP nilaiku ternyata turun drastis, mungkin ada masalah di awal masa puber kali ya
BERSAMBUNG ke bagian 3
No comments:
Post a Comment