Thursday, October 6, 2011

Cita-cita yang mandul

Jika anak kecil ditanya tentang cita-citanya, maka seringkali dia menjawab, mau jadi pilot, jadi dokter jadi guru, jadi polisi, jadi presiden, dan lain-lain. Mereka dengan antusia menjawab. Akan tetapi jika anak-anak ini sudah mulai menginjak masa dewasa, biasanya mereka tidak pernah menjawab jika ditanya cita-citanya apa. Kenapa demikian?

Pada intinya mereka mereka tidak pernah diajari lagi cra bercita-cita. Mereka tidak pernah berusaha menyusun cita-cita agar lebih mudah tercapai. Hal ini disebabkan tidak ada lagi yang membimbing dia untuk bercita-cita lagi. Dengan demikian jika siswa SMA ditanya cita-citanya, paling banter dia hanya menjawab jurusan di perguruan tinggi yang ingin dituju.

Banyak orang yang tidak berani bercita-cita tinggi. Ada beberapa hal yang menyebabkan cita-cita mereka tidak tinggi, atau boleh dikatakan cita-citanya mandul :
1. Mereka tidak yakin bahwasanya cita-citanya akan tercapai
2. Mereka ketakutan jika tidak kesampaian maka mereka akan stres.
3. Tidak ada orang sukses yang membimbingnya
4. Mereka hanya menjadikan cita-cita sebagai sarana mengubah perasaan saja
5. Mereka tidak bisa membedakan antara sukses dan bahagia.

Jarang sekali orang yang memiliki cita-cita untuk memiliki perusahaan besar seperti honda, toyota, hilton, dan lain-lain. Mereka merasa cita-cita menjadi insinyur sudahlah cukup. Kenapa demikian? Karena orang yang membimbing dia selama ini mengatakan hal seperti itu.
Guru SMA tentu merasa sukses jika para siswanya diterima di perguruan tinggi yang diinginkan. Dengan demikian efeknya siswa SMA bercita-cita sebatas perguruan tinggi mana yang akan dituju.

Seringkali orang memiliki cita-cita hanya sebatas mengubah perasaaan saja. Hal ini boleh dikatakan tidak tepat. Memang, apapun yang kita inginkan, sebenarnya hanya mengubah perasaan saja. Misalnya ketika kita ingin memiliki rumah mewah, sebenarnya yang kita inginkan bukan rumah mewahnya, tetapi perasaan yang berubah ketika baru memiliki tumah mewah tadi yang diinginkan. Ketika seseorang menginginkan naik gaji, sebenarnya bukan gaji besarnya yang diinginkan, akan tetapi yang diinginkan adalah perasaan yang berubah ketika ada kenaikan gaji tadi. Jika seseorang gajinya naik, maka perasaannya berubah, setelah sekian lama tidak naik, perasaaannya tidak berubah lagi. Maka dia pasti ingin gajinya naik lagi.

Nah, seringkali seseorang bercita-cita hanya sebatas mengubah perasaaannya saja. Dia hanya bercita-cita sesuai prosedur yang sudah umu. Misalnya dia ingin punya cita-cita menjadi dokter, maka jelas cara mencapainya pastilah sudah umum, yaitu kuliah di jurusan kedokteran. Jika dia sudah lulus dari jurusan kedokteran, maka jadilah dia dokter. Dengan cara ini dia akan kehilangan cita-cita ketika sudah lulus, atau boleh dikatakan cita-citanya sudah habis.

Alangkah lebih baik jika dia memiliki cita-cita jadi dokter, dia memiliki cita-cita lanjutannya, misalnya memiliki rumah sakit. Setelah itu cita-cita berikutnya adalah rumah sakitnya memiliki cabang di seluruh dunia.

Jika seseorang memiliki cita-cita menjadi insinyur, sebenarnya cukup mudah. Asalkan dia lulus dari jurusan teknik maka cita-citanya sudah tercapai. Akan tatapi alangkah lebih baik jika dia memiliki cita-cit lanjutannya, misalnya memiliki industri mobil, industri elektronik atau bahkan industri pesawat terbang.

Akan tetapi dari dokter menjadi pemilik rumah sakit atau dari insinyur menjadi pemilik industri pesawat terbang merupakan jalan yang tidak umum, sehingga orang jarang sekali mau mengusahakannya. Hal ini penyebab utamanya mereka jarang sekali mempelajari biografi orang-orang yang sudah sukses. Mereka jarang sekali mempelajari bagaimana Honda mendirikan perusahaaannya, bagaimana matsushita mendirikan panasonicnya, bagaimana levi's mendirikan perusahaan celana jean's nya dll.

Jika anda tidak mau membaca biografi orang-orang yang sudah sukses tadi, maka saya sarankan untuk bergabung dengan pebisnis-pebisnis yang sudah sukses, sehingga anda akan jauh lebih mudah mencapai cita-cita tinggi anda.

No comments:

Post a Comment