Kisah ini merupakan lanjutan dari bagian 9. Kelas 2 semester 3 adalah waktu pertama kali aku ikut dalam olimpiade matematika. Ketika itu ada 4 orang dari angkatan saya yang diikutkan, dari fisika 3 ada 2 orang, yaitu aku dan Hadi, dari disika 2 ada 2 orang, Wilis dan Yuli. Sementara dari fisika 1 tidak ada yang diikutkan. Pembagiannya memang agak aneh, apalagi aku. Semua anak-anak yang diikutkan rata-rata memiliki peringkat 1 atau 2 di kelasnya ketika masih kelas 1. Tapi aku? Hanya peringkat 13. Ya 13 tepatnya. Itupun di kelas yang biasa-biasa saja, 1-5. Tapi InsyaAllah saya bisa. Saya sudah mempelajari semua materi SMA
Untuk kelas 1 saya lupa ada berapa orang, mungkin 3 orang. Begitu juga dengan kelas 3, yang jelas mas Suprianto ikut. Saat itu saya optimis bahwa saya pasti lolos. Kenapa? Masalahnya saya adalah satu-satunya siswa yang sudah menamatkan materi SMA. Anak kelas 3 kan belum menamatkan matematika? Mungkin anda bertanya-tanya, kok anak kelas 3 masih boleh ikut olimpiade? Karena waktu itu proses penyeleksian sampai pembinaan tingkat nasional sangat cepat (hanya beberapa bulan), maka kelas 3 boleh ikut. Berbeda dengan sekarang, proses seleksi dan pembinaan membutuhkan waktu lebih dari setahun, sehingga jika siswa kelas 3 ikut maka tahun depannya status dia sudah bukan siswa SMA lagi.
Beberapa hari sebelumnya kami sempat dikumpulkan di lab fisika untuk belajar matematika. Lho, koq di lab fisika? Ya iya, masalahnya semua kelas dipakai buat belajar. Jadi yang nganggur hanya lab fisika. Saat itu kami dikumpulkan, termasuk yang kelas 1 dan 3. Sebelum acara dimulai mas Suprianto diminta untuk menceritakan pengalamannya tahun lalu. Dia menjelaskan bahwa soal-soal yang ada di olimpiade lebih banyak menggunakan nalar kita.
Akhirnya datanglah ibu Bedria, pengajar matematika kelas 3. Bu Bedria memberikan soal-soal olimpiade, waktu itu ada 3 soal, pertama tentang deret, kedua tentang suku banyak, dan ketiga tentang dimensi 3. Kelihatannya aku lebih suka pada dimensi 3, sementara Wilis memilih deret (lebih tepatnya barisan, karena tidak dijumlahkan suku-sukunya). Sementara Hadi lebih suka mengerjakan suku banyak.
Saya tidak memilih suku banyak karena soalnya agak berbeda dengan yang pernah saya pelajari. Saya tidak memilih barisan, karena hanya ditugasi mencari suku ke n, jadi serasa kurang bergengsi. Tapi apa yang terjadi? Usaha saya untuk menjawab dimensi 3 tidak ketemu-ketemu. Walaupun ketemu, tetapi usaha yang saya lakukan benar-benar melelahkan. Ketika Bu Bedria membuat pembahasan, ternyata jawaban akhirnya berbeda dengan punyaku. Saya masih sangat PD dengan jawabanku. Saat itu saya tidak menyadari, dengan perhitunganku yang sangat panjang, maka kemungkinan terjadi kesalahan sangatlah besar. Aku menyadarinya setelah sampai di rumah.
Ketika Bu Bedria melakukan pembahasan barisan, saya kurang memperhatikan karena sibuk sendiri ngulik dimensi 3 nya. Tiba giliran pembahasan suku banyaknya. Saat itu Bu Bedria hanya memberi petunjuk terlebih dahulu. Seingat saya waktu itu soal yang diberikan adalah tentang akar-akar suku banyak yang membentuk deret aritmetika. Karena siswa kelas 1 dan 2 belum tahu tentang deret aritmetika maka Bu Bedria menjelaskan tentang deret aritmetika.
Saat itulah teman sebelah saya (Hadi) langsung mengerjakannya dengan perhitungan yang agak nekat, mksudnya walaupun hitungannya panjang dia tetap melanjutkan. Sementara saya cenderung mencari strategi. Akhirnya, Hadi menemukan jawabannya. Seingat saya waktu itu jawaban Hadi betul. Sejak saat itu saya lansung berfikir, jika ada soal jangan terlalu banyak mikir, langsung kerjakan saja, walaupun hitungannya agak rumit.
Sampai di rumah saya mengulang-ulang soal yang diberikan. Karena berfikir keras tubuh saya memanas, tetapi bukan sakit. Ini baru saya rasakan pertama kali ketika belajar matematika. Wah luar biasa soal-soal olimpiade ini, saya mulai merasakan beginilah soal-soal yang menuntut orang untuk berfikir. Tidak seperti soal-soal di sekolah yang cenderung mengingat cara. Karena begitu teori diberikan, maka soal-soal yang diberikan tidak jauh berbeda dengan teori.
Keesokan harinya Wilis memberitahukan ada soal-soal yang bagus, yang isinya semua penalaran. Soal-soal itu adalah bekas kompetisi matematika di Unibraw yang didapt dari teman kami, Salman (alm). Misalnya berapa banyak angka nol di posisi paling belakang pada bilangan 80! (delapan puluh faktorial). Ada lagi soal 7 pangkat 1991 jika dibagi 100 sisanya berapa ? Dan masih banyak soal yang lainnya. Melihat soal-soal itu saya langsung kepengin memfotokopi. Dengan adanya soal ini maka beban belajar saya meningkat. Tetapi, ini merupakan tantangan yang menggairahkan. Bagaimana kelanjutan lomba ini ? Silakan lanjutkan di bagian 11.
aaiio pa critain gmn olimpiade nya
ReplyDelete